Betapa aku menikmati setiap detik menunggui kau terlelap. Menikmati setiap helaan nafas di dadamu yang tenang. Menikmati sentuh-sentuh mimpi yang kadang memainkan ujung-ujung bibirmu. Kuciumi kau belahan jiwa, perlahan-lahan saat kau terlena sambil berdoa…
28.2.11
Doa mimpi...
Betapa aku menikmati setiap detik menunggui kau terlelap. Menikmati setiap helaan nafas di dadamu yang tenang. Menikmati sentuh-sentuh mimpi yang kadang memainkan ujung-ujung bibirmu. Kuciumi kau belahan jiwa, perlahan-lahan saat kau terlena sambil berdoa…
Mengejar waktu denganmu
27.2.11
Rumah Kita
Mampukah kau lupakan kisah lalu?
Berjalan lurus tanpa menengok yang terlewat
Cukup berdiri dan berjalan disana, diujung jalan menikung
Tunggu aku menghampiri, menyambut apa yang kan terberi
Jika senyum itu lupa terbawa
Sertakan sepotong pengharap agar tangis tak perlu pecah
Hingga rumah yang tertinggal tetap berdiri
Walau rayap tak henti menggerogoti tiang
Lain hari kita susuri kenangan yang tertinggal
Bersama….
Berdirikan rumah yang hampir rubuh
Hias kembali dengan birunya senyuman...
24.2.11
Biarkan saja...
Berhentilah meresah hai Wanita. Bukankah janji itu seperti katanya, hanya tertunda? Bukan berarti tak ditepati, apalagi diingkari. Hanya beberapa waktu saja kau menunggu, bukan seumur hidupmu. Sementara itu, dalam nantimu yang tak akan panjang… kau bisa berjalan-jalan di ambang petang dengan kaki telanjang… merasakan basahnya rerumputan disela-sela jari kakimu yang jenjang. Atau kau bisa melambaikan telunjukmu, hingga kupu-kupu bersayap biru hinggap malu-malu.
23.2.11
aku kamu dan hujan
Riuh rendah suara angin menyapaku, disertai rinai-rinai bulir hujan... tengadahku melihat langit! Kelam... sejauh mata memandang tak ada satu pun kerlip bintang yang kutemui, dulu aku sangat menyukai saat-saat ini, dimana dirimu harus tertahan berada dalam pelukanku! Masih tergiang dalam benakku bagaimana manisnya kecupan yang kau berikan di keningku, lambaian tangan saat kamu beranjak pergi, saat itu aku masih berada di hati yang lain, tak pernah terpikir aku akan sangat merindukan saat-saat itu!
Lelaki malam...
Bola matamu umpama mata air yang tak pernah berhenti mengalir… hingga jika pun resah memanggang jiwa… aku tak pernah merasa dahaga.
Kamu lelaki malamku kini. Yang aku sesap suaranya saat malam mulai merangkak tinggi, bahkan terkadang sampai dinihari menyambangi bumi. Menjajari setiap perbincangan panjang kita, menghela mimpi… hingga membiarkan setiap aksara bersanding dengan kabut subuh hari, luruh di dedaunan dan suara ayam memekik nyaring di kejauhan. Kau memelukku yang terdiam, dan lalu kita sama-sama terpejam.
22.2.11
Sparkling...
Malam ini aku kembali berbincang-bincang… dengannya, lelakiku. Suaranya diseberang sana menyisipkan rindu. Merepihi asa yang tumbuh satu-persatu. Seperti ribuan kepakan sayap malaikat biru… mendendangkan lagu. Nada-nadanya asing… tak ada pembanding. Alam raya khidmat terpesona… terhenti gerak semesta… Seluruh jagad memandangi kita… berputar lambat dengan kita sebagai porosnya. Bintang-bintang jatuh malam itu memendarkan cahaya ragu, kemudian melipir malu… malu pada kilau rindu kita yang lebih terang dari ribuan cahaya bintang dijadikan satu…
“Lalu… adakah hal lain yang indah di dunia, bila yang terasa hanya ada kita dan berlapis-lapis cinta???”
21.2.11
The rains...
Aku selalu suka hujan, tanpa alasan. Entah kenapa… aku suka saja.
Ketika dia bertandang, aku kadang rela berlama-lama menyampir di jendela… berdetik-detik tanpa kedipan mata, memikirkan apa saja atau cuma sekedar mengosongkan isi kepala. Aku menikmatinya, menikmati setiap tetesnya yang jatuh di atas kelopak dahlia di samping jendela, menikmati tempiasnya di wajahku yang kadang… membuatku khidmat memejamkan mata.
Cotton Candy...
Seperti gula-gula kapas bermacam rupa. Sosokmu tidak bisa digambarkan hanya dengan satu warna. Kadang jingga kadang merah muda… atau bahkan saga menyala… tak cukup satu malam mengembarai jalan pikirmu dan segala kemungkinan tentang sosokmu. Mencecapi rasamu, menghindui wangimu di indera ciumku….
Ahhh… menikmati yang seperti itu… manis seperti dirimu.
Yang aku tahu hanya satu… seperti gula-gula kapas yang meleleh di mulutku…
Aku pasti menyukaimu…
(al)
20.2.11
Luka Dini Hari
Kanthi tidak pernah tahu apa yang terjadi pada orang tuanya. Hanya saja orang bilang mereka dibunuh dan mayatnya dihanyutkan ke sungai bersama puluhan tubuh-tubuh tak bernyawa lainnya. Orang bilang orang tuanya adalah pendukung haluan kiri yang ikut ditumpas setelah pertumpahan darah di sebuah kota berjarak ratusan kilometer dari Dusun Karangjati. Semuanya terlalu rumit bagi seorang Kanthi, di usianya yang ke-sepuluh tahun.
19.2.11
It's hard to say that I miss you...
Aku suka senyumnya yang mengembang indah di bibirnya
Aku juga suka tatapannya yang bergelora bagaikan panah asmara...
Aku suka...
Aku suka caranya mengerjaiku,
Aku suka caranya mengomel sepanjang hari...
Aku suka..
Suka sekaliii...
Let it go...
karena senyummu yang tersirat samar dari balik hujan..
dan aku terus menunggu,
menunggu hujan menghapus jejakmu,
namun, iya... hujan mungkin menghapus jejakmu di tanah ini...
tapi hujan di hati ini takkan pernah mampu menghapus jejakmu dalam hidupku...
karena aku terus menunggu,
sampai datangnya mentari...
diiringi senyum dan tawa langkah ceria...
dan aku terus menunggu pelangi,
pelangi yang indah dan melengkungkan senyummu...
17.2.11
Maaf Aku Lupa
Suami : “Bau gosong apa ini??!! Lief, croissant-nya!!!” Suami tergopoh lari ke dapur
Istri : “Ooohhh nee, gosong dong” terbirit-birit menuju dapur dan…… telat. Croissant-nya sudah pada gosong di dalam oven.
Istri : Sorry, Lief, aku lupa.
*suami gigit jari karena tidak satupun yang masih bisa dimakan*
2. Setting : Selesai makan malam
Istri : “Mau minum apa, Lief? Teh atau kopi?”
Suami : “Koffie, alsjeblieft”
Istri membawa piring kotor ke dapur, membilasnya sebelum dimasukkan ke mesin cuci piring. Balik lagi ke ruang makan.
Suami : “Mana kopiku, Lief?”
Istri : “Oh God....sorry Lief….sorry, tunggu sebentar. Lupa”
Suami : #@$%^&*(!
Inikah Cinta???
16.2.11
Membunuh bintang...
Kau tidak tahu, Cinta, aku pernah melarung luka dalam lautan tanpa dermaga, aku bahkan membunuh bintang utara dan segala rasi di semesta, membuang segala petunjuk dan tanda. Hingga bila saat luka itu ingin kembali bersua, saat dia menatap ke angkasa, dia tak akan menemukan apa-apa kecuali gulita… Doaku semoga dia tak pernah menemukan jalan pulangnya…
“Dan kau, Cinta, serupa bintang yang paling terang… suatu saat jika kau benar bertandang... jangan bawa serta luka itu datang”
Percakapan embun...
Ah... Aku selalu suka menggambarkan malam sebagai tempat percakapan kita bermula, dengan ribuan kerlip bintang di angkasa, dengan awan-awan kelabu tempat menguraikan banyak cerita. Mengeksplorasi rasa dan merepihi setapak asing hatimu lewat suara… menyerap semua tawamu di seberang sana sambil mengisahkan tentang hujan atau berdebat tentang benda langit yang paling terang.
“Waktu terhenti dan percakapan kita membungai mimpi… menyesapi pada embun dini hari…”
(al)
Just Eve
Seumpama malaikat dengan sayap hitam berpijar terang, kegelapan langit menjadi takhtanya. Singgasana tempatnya bercumbu dengan bulan, bintang dan juga semesta. Dari badai di Utara samudera… hingga ke angin semilir di pucuk-pucuk akasia… Terkesima… Menggantikan lagu-lagu malam dengan syair merdu, suaranya melambatkan sang waktu.
Bila badai pun tertunduk dalam pesonanya,
apalagi aku yang hanya seorang hawa… perlahan-lahan terbunuh damba…
(al)
7.2.11
Al... The Black Angel
Senyumnya… melunglaikan angkasa, membuat pelangi memudar dengan pesona. Tak cukup aksara melukiskan dirinya…. Hingga riap gerimis berdesir kepayang, mabuk dalam kagum yang menghempas sekuat gelombang, menyesakkan nafas dalam rindu meresah, gelisah. Bintang bersinar di atas kepalanya, membayang sesosok malaikat dengan sayap hitam bermata sempurna. Semoga hatinya sebaik wajahnya.
Ahh.. tahukah kau teman, lelaki ini sungguh memabukkan…
Riza
Namanya Riza, siswa SMART Ekselensia yang saya kenal secara tidak langsung karena berasal dari daerah yang sama setelah ditakdirkan berada di Bogor, hadir dengan logat Makassarnya yang masih kental, membuat saya dan kawan yang lainnya merindukan kampung halaman. Senyum khas dan tubuh kurang gemuk, jika tak ingin dikatakan cenderung kurus, menyedot perhatian selama jam makan malam. Menatapi dengan seksama cara makannya, menu yang tersaji di piringnya yang kekurangan satu menu karena keterlambatan antrian, mengingatkan adik terkecil saya yang terbiasa makan walau tanpa sayur.