20.2.11

Luka Dini Hari

Dusun Karangjati tidak pernah lagi sama. Tidak lagi memberi kedamaian pada sanubari Kanthi. Kepak kunang yang mengirim cahaya di gelap malam kehilangan terangnya. Nyanyi burung kedasih membawa pilu di setiap hentak napasnya. Kedamaiannya terkoyak sudah. Terkoyak ketika serombongan orang membawa orang tuanya pergi setelah terjadi huru-hura dini hari. Serombongan orang yang tak menoleh sejenak pun ketika dirinya bersimbah air mata menggapai tangan ibunya yang perlahan diseret menembus malam. Teriakan ayahnya yang semakin sayup ditelan senyap. Satu wajah yang dikenal Kanthi, wajah yang biasanya begitu bersahabat padanya, tetapi begitu beringas malam itu. Pakdhe Soekarjo.

Kanthi tidak pernah tahu apa yang terjadi pada orang tuanya. Hanya saja orang bilang mereka dibunuh dan mayatnya dihanyutkan ke sungai bersama puluhan tubuh-tubuh tak bernyawa lainnya. Orang bilang orang tuanya adalah pendukung haluan kiri yang ikut ditumpas setelah pertumpahan darah di sebuah kota berjarak ratusan kilometer dari Dusun Karangjati. Semuanya terlalu rumit bagi seorang Kanthi, di usianya yang ke-sepuluh tahun.

Nasib malang sepasang suami istri yang tidak pernah meninggalkan tempat dimana mereka dilahirkan dan dibesarkan. Sepasang suami istri yang bahkan tidak bisa membaca dan menulis. Berkubang kemiskinan dalam sebuah rumah gedhek yang nyaris ambruk. Jika saja mereka tahu bila kehadiran mereka di rapat akbar lapangan kecamatan bisa membuat kehidupan mereka porak poranda, mereka akan memilih diam di rumah. Mereka datang untuk wayang dan pentas ronggeng yang belum tentu setahun sekali bisa mereka jumpai. Perkara mereka paham atau tidak dengan orasi berkobar di atas panggung, itu soal belakangan.

=============================================================

Kanthi terlihat cantik sekali saat di atas panggung. Diseblaknya sampur ke kanan dan kiri diikuti goyangan pinggulnya yang membuat para pria berdecak dibuatnya. Semua duka enam tahun silam seolah menghilang dari wajahnya. Senyum sumringah membingkai wajahnya dan kerling matanya ke arah lelaki saat pacak gulu membuat pria tergila-gila padanya. Dikalungkan sampurnya pada seorang pria berusia separuh abad, yang duduk di barisan paling depan. Seorang pria yang wajahnya selalu diingat oleh Kanthi. Perlahan Kanthi menarik tangannya dan mengajaknya menari mengikuti irama kendang yang semakin bertalu.

Pada tengah malam pentas ronggeng pun usai. Menyisakan bau tuak di mulut para lelaki dan menyisakan kelelahan di setiap jengkal tubuh para penabuh gamelan. Tapi tidak bagi Kanthi, sang ronggeng yang menjadi bintang malam itu. Matanya masih menyala terang seperti mentari tengah hari. Tidak nampak ada kelelahan pada dirinya. Lelaki separuh abad sudah menunggunya. Bersama mereka menyusuri gelap, melewati pematang sawah menuju rumah Kanthi.

Kanthi memanjakan lelaki itu dengan tuak terbaik yang dia punya. Membuatnya melayang kehilangan pegangan. Tepat saat lelaki itu merebahkan tubuhnya ke atas dipan, ditikamnya tubuh lelaki mabuk tanpa daya itu. Berkali-kali hingga dadanya terasa sesak. Kanthi meneriakkan nama ayahnya, ibunya, yang tidak pernah berhenti dirindukannya. Berakhir sudahlah detak jantung lelaki itu, detak nadinya dan kehidupannya. Lelaki itu, Pakdhe Soekarjo, yang ikut serta membawa orang tuanya pergi tewas bersimbah darah pada sebuah dini hari sunyi. Dini hari yang telah menorehkan kesakitan yang selalu tinggal.

0 comments:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.