22.4.12

Negeri Sepeda

Sepeda adalah jenis transportasi yang banyak digunakan oleh orang Belanda. Bukan karena miskin dan tidak mampu beli mobil tapi lebih karena kebiasaan dan kultur. Bahkan ketika Human Development Index (HDI) Belanda menempati urutan ketiga (setelah Norway dan Australia), kebiasaan bersepeda penduduk tidak pernah berubah.

Kalau anda berkunjung ke Den Haag dan duduk manis di depan kantor parlemen, bisa jadi anda ketemu dengan Prime Minister gowes sepeda, menteri atau anggota parlemen yang datang dengan sepeda. Berdasi, dengan tas laptop di boncengan atau rok pendek, sepatu high heels lengkap dengan sunglasses adalah pemandangan yang bisa dijumpai dimanapun. 



Bagian boncengan dilengkapi tas di kiri dan kanan seperti tasnya tukang pos yang saya jumpai di masa kanak-kanak saya. Bedanya bahannya tidak melulu kulit dan bisa dibeli dengan bermacam-macam motif, warna dan ukuran. Fungsinya untuk menampung berbagai macam barang. Belanjaan dari supermarket atau pasar, buku, kado, apa saja asal muat.



Ramah lingkungan, bisa parkir disemua sudut dan gratis. Nyaman dan relatif aman karena punya jalur sendiri, tidak seperti di indonesia yang mesti berjibaku dengan pengendara mobil, bus, truk dan sebagainya. Mau menyeberang, gampang, tinggal pencet knop di tempat penyebarangan, perempatan, pertigaan, dimana saja dan dijamin akan sampai di seberang dengan selamat selama tidak menerobos lampu merah yang sudah jelas-jelas merah.

8.3.12

Hubungan Tambal Sulam


Kalau saya, menikah atau punya pasangan itu tidak untuk menjadikan hidup saya miserable. Kalau salah satu dari kami tidak bahagia, ya sudah, selesai. Tidak perlu bertahan atas nama kenangan dan kebersamaan yang (pernah) indah. Kalau tidak sanggup sendiri dan memilih tetap bersama ya saya tidak akan mengeluhkan dia yang begini yang begitu. Yo wis resiko.

“Sebuah relasi tidak akan kamu akhiri begitu saja,” menurutmu.

“Piye tho, ini bukan “begitu saja” lho. Tiap saat ada yang selalu menjadi masalah, ada yang ngotot, yang satunya lagi sibuk meredam emosi mati-matian supaya tetap bersama. Apa ndak capek mempertahankan hubungan tambal sulam kayak gitu. Nah kalau saya lebih milih capek nyuci helikoter daripada capek makan hati.”

“Saya akan tetap mengusahakannya dan mempertahankannya.”

Ok, good luck. My best wishes.”

Dan sayapun mulai merasa bersalah karena memintamu untuk mempertimbangkan opsi bubaran meski itu adalah pendapat terakhir saya setelah pertengkaran demi pertengkaran kalian. Bukannya saya tidak berempati pada status lajangmu dan keinginanmu untuk segera menikah. Saya sih mikirnya mumpung masih dalam tahap penjajakan.

Besoknya, baca statusmu di fb, “saya lelah, banget.” Waktu saya bilang untuk bertahan, kamu bilang dia begini dan begitu. Waktu disuruh bubaran ndak mau. Setelah milih untuk berjuang, nah lho... kok lelah siiihhh. Dan sayapun ndak koment karena ndak tahu mau ngomong apa. E-mailmu saja belum kubalas karena kehabisan kata-kata dan jujur, saya blas ndak punya saran. Speechless kata orang jawa.

Sayapun pernah berada di fase tidak mau bubaran dan tidak mau kehilangan. Menangis lebay ngalahin alay. Tapi di usia saya yang semakin uzur saya ogah menambal sulam hubungan yang tidak sehat dan memasuki stadium akut. Bukannya saya dan suami tidak pernah ribut. Ya pastinya pernah, wong kami ini dua orang keras kepala yang berada dalam sebuah pernikahan. Tapi ya tidak tiap hari gitu kami ribut. Bisa habis dong mangkok dan piring di dapur.

Kalian ini dua manusia dewasa yang sudah sepakat untuk menjalani masa penjajakan ini. Mestinya kan kalian secara bersama dan sadar untuk saling menyesuaikan. Saya ini beneran gemes lho lihat kamu yang selalu mengalah. Kesannya kamu harus berjuang keras untuk mempertahankan dia sementara dia bisa semaunya. It takes two to tango.

Tapi embuh maneh kalau kamu memang punya stok kesabaran yang melimpah. Trus piye, dilanjut apa nggak? Kalau jadi saya mau beli gaun buat ke acara kawinan kalian atau nyicil corsagenya dulu paling tidak.


Pesan moral : jangan pesan / beli gaun untuk acara kawinan kalau belum tahu calon pengantin jadi menikah atau tidak. *dilempar mesin jahit*