24.11.10

Prosa dan Puisi

Sebenarnya apa yang membedakan prosa dan puisi. Mari kita kupas satu persatu. Prosa adalah jenis tulisan yang bahasanya lebih sesuai dengan arti leksikalnya (arti yang paling mendasar). Dari asal katanya, prosa berarti "terus terang". Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendiskripsikan atau mengungkapkan suatu ide atau fakta.

Sedangkan puisi yang berasal dari bahasa Yunani kuno adalah seni tertulis dimana bahasa digunakan untuk kualitas estetiknya untuk tambahan. Penekanan pada segi estetik suatu bahasa dan penggunaan sengaja pengulangan kata, dan juga rima adalah yang membedakan puisi dengan prosa. Puisi kadang juga hanya berisi satu kata atau satu suku kata yang diulang-ulang. Bagi pembaca, hal tersebut mungkin tidak bisa dimengerti. Tapi penulis selalu memiliki alasan untuk segala "keanehan" yang diciptakannya. Tak ada batasan. Puisi adalah suatu dunia tersendiri, yang kadang dalam bentuk ekstrem atau ideal adalah dunia hasil imajinasi yang tak terhubung dengan realita. Walaupun sumber ilhamnya berasal dari suatu relitas.

Salah Memilih (Jodoh)

*Knowing that my choice was wrong, and I don't know if I can get through of this*

* * * *


Membaca status seorang sahabat di situs mukabuku, awalnya dikira salah memilih dokter, atau pakaian, atau salah beli barang. Namun dilihat dari komen dan balasan komen di bawahnya, walaupun tak secara eksplisit, menunjukkan ada yang salah dalam menentukan pilihan hidup. Entah apa yang ada dalam pikirannya sehingga keluar kata-kata tersebut. Bila dirunut dari beberapa status sebelumnya, memang ada sedikit korelasi bahwa ada sesuatu yang bermasalah dalam hubungan mereka. Mau menanyakan langsung tak enak, takut mencampuri urusan dalam negeri, tidak ditanyakan jadi penasaran. Tapi sudahlah, anggap saja sementara asumsi tadi benar.


engkaulah kilatan cahaya

Kau mempesonaku, memikat, namun sekaligus menakutkan. Bagianmu membuat daun dan kuncup bunga rapuh jatuh, pun kekokohan dapat hangus terbakar. Membuat alam tak bisa tidur terus berjaga. Entah siang atau malam.

Aliran udaramu sengit, menggeser biru, mengirimkan keping-keping dingin, dan milyaran butir air. Keluar tiba-tiba. Dari tumpukan awan gelap.

Kau mengoyak langit. Indah. Membuat belantara gelap, datang gagah menuruni angkasa. Menelusup kilat, serasa memangsa siapa saja.

Kelebat cahaya, gelegar pecah dan aku menutup mata bila kau datang dekat.



Aku ingat Rendra. Mendung tadi.

#ketika hujan tadi sore, di gelap kamar kost

Merindu Malam


Sesaat hati ini merindumu. Membuat setitik pilu yang semakin merasuk kalbu. Benarkah yang kurasa rindu? Ataukah hanya sebuah semu. Aih, terlalu bodoh aku untuk mengetahuinya. Pernahkah kau menatap bintang di sudut hatiku?

Percakapan Api


Ragaku selayak ranting kering sayang, dan kata-katamu adalah api yang rajin menjilatiku dalam bara. Membakar sisa kewarasan yang tinggal secuil kupunya. Ingin rasanya kukunyah apimu, dan kuludahkan jelaga di wajahmu. Hati? Aku sudah tak ada hati. Kau telah menghanguskannya. Dan mengerak hitam menjadi dendam.

cintaku akan berjalan tanpa cidera


sayang, kamu dimana? mengapa sapaku tak berjawab? tertidurkah, lelah setelah percakapan panjang kita sesiangan tadi? andai saja aku di sampingmu, pasti kuwakafkan waktu untuk memelukmu, menciumkan sabar di halus punggungmu, dan memanterai tubuhmu dengan segala ayat Tuhan yang menjanjikan kemudahan jalan.

istirahatlah, sayang. tidurlah. biarlah malam ini jadi milikku, khusyuk untuk meminta pada-Nya, agar engkau Dia jaga, seperti menjaga Hawa ketika terlempar dari surga, kala sendiri, sebelum Adam menjumpainya, untuk merangkai takdir baru, seperti legenda jabal rahmah.

dan kuharap, akulah yang menjadi Adam itu.

Menu untuk Suamiku


Cepatlah pulang, telah kusiapkan di meja, hidangan untuk makan malammu hari ini. Hati dan jantung yang kurebus dengan tetesan airmata dan sedikit darah membusuk. Makin hari aku makin pandai saja memasak untukmu suamiku. Dan kau semakin lahap saja melumat tubuhku.

rasa yang sama

Rasa ini akan tetap sama. Persis saat pertama kali kita memasuki pintu cahaya di penghujung sana. Saat kita melangkah memasuki rimbunan bunga azalea berwarna cinta. Dan kita sama-sama terpesona pada kelopak bunga asmara yang berona darah.

Rasa ini selalu akan sama. Persis saat nafas kita beradu. Berlomba mengikuti degupan jantung. Lalu menggapai-gapai, tersengal karena sesaknya pesona rindu. Menahan desahan yang tak terdengar oleh dentingan suara hati. Lalu terburu-buru memagut harap.

Rasa ini memang sama. Saat jemari membelai jiwa. Merengkuh pongah ke dalam dekapan pemilik raga. Membiarkan dinding hati berdesir. Mungkin ia ingin berkenalan dengan pemiliknya. Bukan hanya sekedar menatap hangat sepasang kelopak mata lalu sibuk dengan saraf-saraf yang berpendar. Namun tatapan hangat itu menyisakan degupan jantung. Membinarkan aura wajah. Menyemikan warna merah muda. Membuatmu merasa sangat berat. Sangat berharga. Lalu berharap, besok akan ada lagi rasa yang sama. Rasa cinta.

Pernikahan

Ida Ayu Sekar masih tak percaya, meski wajahnya masih berdenyut perih setelah ditampari suaminya, bibirnya menyungging senyum. Ida Bagus Sundranta berang dan segera mengusir Sekar, istri yang baru dinikahinya. Menyudahi malam pertamanya dengan murkaan atas egonya yang terinjak. Sekar masih berkeringat di sekujur badannya yang setengah telanjang. Tapi dia tak mau menunda waktu. Dia harus dan ingin segera pergi dari griya.

Ida Bagus Sundranta mondar-mandir di luar kamar dengan tak sabar. Masih diingatnya jelas saat istrinya malah menggumamkan nama lain saat dia mendaki puncak kepuasan. Hatinya terbakar amarah. "Sundal!" umpatnya sambil melayangkan tamparan-tamparan di wajah Sekar.