23.2.11

Lelaki malam...


Bola matamu umpama mata air yang tak pernah berhenti mengalir… hingga jika pun resah memanggang jiwa… aku tak pernah merasa dahaga.

Kamu lelaki malamku kini. Yang aku sesap suaranya saat malam mulai merangkak tinggi, bahkan terkadang sampai dinihari menyambangi bumi. Menjajari setiap perbincangan panjang kita, menghela mimpi… hingga membiarkan setiap aksara bersanding dengan kabut subuh hari, luruh di dedaunan dan suara ayam memekik nyaring di kejauhan. Kau memelukku yang terdiam, dan lalu kita sama-sama terpejam.

Aku menyebutmu lelaki malamku. Karena memang begitu. Kehadiranmu tak pernah bisa aku setarakan dalam siangku, ketika rutinitas merenggut konsentrasi dan pikiranku. Aku memang masih mengingatmu kala matahari bertakhta di angkasa sana, hanya saja entah kenapa tak pernah sepenuhnya. Malam begitu pas dengan sosokmu yang hampir jumawa, kau tidak hilang, apalagi membayang, kau nyata ketika malam tiba.

Cerita kita hampir tiada habisnya, dari hal yang paling sederhana sampai sesuatu yang bisa meninggikan suara. Perbincangan kita hanya mengalir seperti air, aku bahkan ragu apakah otak kita sempat berpikir untuk merangkai setiap aksara itu, menyusunnya satu-satu hingga setiap siang tiba, aku tak sabar untuk mengakhiri matahari yang nyala, membunuhnya andai bisa. Berdoa semoga senja yang jingga cepat menyambut purnama… lalu akan kutemukan kau menungguku di pelataran sebuah taman berlatar kelabu, tak sabar melesapkan hidungmu di tengkukku… Menciumiku penuh rindu.

Pernah suatu masa, ketika kita berbaring bersisian di rerumputan basah. Malam pun seakan pasrah, menyerahkan kekelamannya bersinar pada mata kita yang pernah lelah untuk mereguk semua kisah. Tak pernah sekalipun aku merasa terlelap ketika kau menjabarkan tentang indahnya aku saat terbingkai senyum malu-malu. Gerak bibirmu terlalu sayang untuk sedetikpun aku lewatkan, aku bahkan tak ingin membaginya pada angin semilir yang datang, yang telah lancing menyatukan rambut kita dalam satu riapan. Dan aku selalu mendamba sesekali hangat bibir itu juga menjamahiku… menyatu dengan bibirku.

Dan lihatlah… hari sudah petang. Bayang-bayang dedaunan sudah berbentuk memanjang. Betapa aku ingin memotong waktu, menyingkatkan detik dan menitnya, menjadi secepat yang aku mau. Ahhh… rinduku padamu lelaki malamku… membuatku menjadi candu…

“Tunggulah lelakiku, biarkan senja melarutkan jingganya
Meluruhkan warna hingga perlahan purnama menyambutnya
Biarkan bintang-bintang itu kembali curiga dan bertanda tanya
Jemari kita menggenggam jadi satu
Teruskanlah mencumbuiku, melesapkan cinta di ujung-ujung bulu matamu
Rindu kita sudah membatu…. Dan biarkanlah semesta cemburu padaku…”

1 komentar:

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.