7.2.11

Riza

Namanya Riza, siswa SMART Ekselensia yang saya kenal secara tidak langsung karena berasal dari daerah yang sama setelah ditakdirkan berada di Bogor, hadir dengan logat Makassarnya yang masih kental, membuat saya dan kawan yang lainnya merindukan kampung halaman. Senyum khas dan tubuh kurang gemuk, jika tak ingin dikatakan cenderung kurus, menyedot perhatian selama jam makan malam. Menatapi dengan seksama cara makannya, menu yang tersaji di piringnya yang kekurangan satu menu karena keterlambatan antrian, mengingatkan adik terkecil saya yang terbiasa makan walau tanpa sayur.

“Riza sekarang kelas berapa?” Tanya saya membuka percakapan, mengganggu waktu makannya yang baru dimulai, dari meja yang berbeda.

“Kelas satu, kak” jawabnya mengalihkan pandangan ke arah meja kami.

“Bagaimana ceritanya bisa sampai kesini?” lanjut saya, yang kemudian disusul langkah mendekati meja tempat ia makan.

“Dari rekomendasi kepala sekolah, kak. Waktu itu kepala sekolah yang mengisi formulir pendaftarannya, saya tidak tahu sama sekali apa yang diisi” jawabnya yang diawali dengan senyum.

“Terus habis itu? Langsung ikut saja?” Cecar saya dengan pertanyaan yang dilontarkan secara cepat, seolah lupa jika berhadapan dengan orang yang sedang menikmati makannya.

“Tidak, kak, ada tiga kali ujian. Setelah lulus berkas ada ujian, dari Makassar yang lulus itu ada tiga orang, termasuk saya. Habis itu ada ujian Bahasa Indonesia dan Matematika. Dari ujian itu, Kepala sekolah menyampaikan kalau yang lulus itu saya, habis itu ada psikotes. Di bulan juni baru ada penyampaian kalau saya lulus dan akan diberangkatkan ke Bogor” Jawabnya sambil sesekali dibarengi gerakan tangan dan senyum.

“Jadi mamanya bilang apa?”

“Mama saya sudah lama meninggal, kak, almarhumah” jawabnya masih dengan tetap senyum, tanpa nada tertahan atau raut kesedihan, dan saya tiba-tiba merasa bingung ingin mengalihkan dengan pertanyaan apa berikutnya. Dan jawaban dari pertanyaan berikutnya lebih membuat saya tercekat.

“Bapak saya juga telah meninggal baru-baru ini, tanggal 6 kemarin, kak” Deg… saya berhenti berbicara. Anak sekecil Riza dengan umur yang masih berkisar antara 11-12 tahun telah kehilangan kedua orang tuanya dan bisa dengan lapang menjawabnya, sedang saya yang mendengarnya, bukan mengalaminya langsung sudah merasa sesak.

“Ya Rabb, anak sekecil ini sudah merasakan kehilangan, yang jika dibandingkan dengan apa yang pernah saya rasakan mungkin tidak ada artinya, namun ia bisa tersenyum membagi kisahnya” keluh saya dalam hati.

“Mudah-mudahan Riza menjadi anak yang shaleh ya, yang akan menjadi ladang amal jariyah buat bapak dan mama” hanya itu yang mampu saya ucap.

“Aaaamiin” jawabnya pendek lalu kembali sibuk dengan makannya.

Lalu disusul dengan pertanyaan-pertanyaan berikutnya, yang diajukan oleh kawan yang lain, dan Riza kecil akan selalu menjawab dengan tersenyum sebelumnya.


Malam ini belajar dari seorang anak yang waktu hidupnya di dunia belum selama saya, tapi pelajaran hidupnya telah mengalahkan umur yang berisi deretan hari. Berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah, yang hanya dia dan adiknya yang bersekolah, tapi semangat di wajahnya cukup menggambarkan pada saya bahwa ia memiliki kekayaan yang belum saya miliki.

Dia hanya seorang anak, yang saya kenal sejenak dalam perjalanan hidup ini, yang mungkin kisahnya akan terlupakan disela rutinitas harian yang akan terlewati. Seorang anak, yang berbincang tidak cukup 60 menit, namun membuat saya sempat terdiam. Seorang anak, yang bolehkah kukatakan kalau dia menjadikan saya harus memuhasabah ke dalam diri ini, apa yang telah saya lakukan untuk orang tua yang Alhamdulillah masih ada?

Mungkin kelak di perjalanan hidup berikutnya, akan bertemu Riza yang lain, dengan kisah yang berbeda. Dan saat itu tiba, saya berharap memiliki kepekaan hati untuk mampu merasa, mampu sejenak berbalik ke arahnya dan tersenyum, tidak hidup dengan ego sendiri yang berkejaran untuk selalu dipahami.

Dan malam ini saya merindukan adik-adik saya, merindukan orang tua saya, dan merindukan orang-orang yang selalu berdiri dan meluangkan waktu untuk memahami saya. Ingin sekedar bertemu dan mengucapkan terima kasih untuk banyak hal yang luput dari perhatian saya…

Kalian... kawan yang hadir dalam setengah perjalanan hidup ini membingkai kisahnya masing-masing.

2 komentar:

  1. Hmm... nice story Dear...

    Semoga Allah selalu mengiringi langkah dan cita2 mu ya... :)

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.