6.12.10

in the night...


Ratusan malam, berantaikan doa-doa yang tak tersampaikan. Rindu mencambuki cinta, hingga sekarat ia…
bara ini menyesapi hati perlahan-lahan, laksana sekam tak padam, dikipasi dalam diam…


Bulan tampak temaram di langit, sinarnya hampir mati diaraki gumpalan-gumpalan awan. Malam itu, tak ada bintang sama sekali. Nyaris hening, hanya lirih suara angin berdesir.

Di satu kamar hotel di dalam kota, keadaan malah kontras dengan keheningan malam itu. Kamar yang setengah berantakan seperti kapal karam. Kamar berhawa gairah dan bau keringat yang kentara seirama dengan suara-suara yang membangkitkan bara di dalam dada, desahan yang bertumpang tindih, tak beraturan, saling menyilangi dan menimpali bersahut-sahutan. Tak berapa lama diiringi lenguhan tertahan, sepasang pemilik suara baru saja selesai melepaskan hajat nafsunya. Terbaring kelelahan di atas ranjang dengan alas berwarna kuning terang. Peluh sebesar biji jagung masih menetes di dahi si lelaki. Sementara sang wanita membenahi rambut yang jatuh lengket di lehernya yang lembab. Sekian menit mereka berbaring diam, masih telanjang. Mencoba menikmati perginya badai dalam hati yang baru saja selesai mereka kendarai. Dan mereka selamat menjadi pemenang kenikmatan sesaat.

Selang beberapa waktu, si lelaki beranjak dari posisi berbaringnya. Matanya mencari-cari pakaiannya yang berhamburan di beberapa tempat, di ujung ranjang, di lantai, bahkan kemejanya tersampir dengan acak di meja, lengan kemeja malang itu hampir tercelup ke dalam gelas kopi yang sudah dingin. Sementara si wanita masih betah berbaring, dia hanya berbalik, tiarap memeluk bantal yang tak kalah lembab sama dengan kulitnya yang mengkilap karena peluh yang masih belum habis keluar dari pori-pori. Tak ada usaha untuk menutupi tubuhnya. Sisa kenikmatan barusan terlalu indah untuk dihancurkan, bahkan dengan sedikit gerakan, pikirnya.

Si lelaki yang sudah berpakaian seadanya tampaknya sudah siap pergi. Kancing kemeja yang hampir terkena kopi tadi bahkan belum terkancing bagian atasnya. Rambutnya juga masih teracak, tak sempat disisir lagi.

“Aku pergi, Shel…” lelaki itu menunduk, menjamahi lantai, melempar beberapa baju si wanita yang terserak disana, mencari kunci mobilnya yang ternyata tersalip diantara bra dan stoking berwarna coklat muda di kaki ranjang. Dihampirinya si wanita yang cuma menjawab dengan gumaman, tubuhnya masih tak bergerak. Ditepuknya sekilas pantat wanita itu sambil melirik jam tangan rolexnya. Pukul 01.09 wita, dinihari.

“Besok aku transfer uangmu. Kamis malam kita ketemu lagi disini. Istriku keluar kota. Jadi kita bisa weekend bersama” setengah berteriak laki-laki itu berusaha agar si wanita yang mungkin hampir terlelap benar-benar mendengarkannya. Sementara kakinya masih sibuk menjejalkan diri pada sepatu bermerek berwarna coklat tua.

Lagi-lagi wanita itu cuma berguman, tapi kali ini sedikit mengangguk.

Dengan tergesa si lelaki bergegas keluar dari kamar itu, setengah berlari.

****************

Kedua jarum jam hampir menunjuk ke angka dua ketika mobil keluaran luar negeri itu memasuki halaman rumah yang berkerikil kecil. Bunyi gemeretak ban yang melindas kerikil terdengar jelas memecah keheningan.

Di dalam rumah, seorang wanita dengan gaun tidur berwarna hijau pupus tersentak. Matanya sembab, habis menangis. Bahkan di sudut luar matanya masih ada satu dua tetesan air bening yang mengalir. Segera dia beranjak dari kursi tamu tempatnya duduk memeluk lutut dari beberapa jam lalu. Langkah kecilnya melambat ketika kedua tangannya menghela air mata dan mengerjap-ngerjap memastikan bahwa sisa tangisnya tidak akan tampak oleh lelaki yang akan segera muncul di depan pintu. Lelaki yang 4 tahun lewat mengikrarkan janji dan meminangnya, memenangkan hatinya.

Sempurna, tepat ketika pintu dibuka, senyum wanita itu mengambang. Semua kesedihan tadi seperti hilang. Tangannya mengulur perlahan, menyalami dan mencium punggung tangan lelaki itu dengan khidmat. Sebuah kecupan dia rasakan hangat di ubun-ubunnya ketika dia menunduk. Lelaki itu menciumnya lagi, seperti biasa, sejak mereka berpacaran dulu, seperti sebuah rutinitas, lima ciuman sebelum berpisah atau ketika baru datang. Ciuman di dahi, kedua belah kelopak mata, hidung dan terakhir akan berakhir manis di bibir.

“Maafkan Dinda, kakak harus menemani klien seperti biasa” suara laki-laki itu terdengar tulus. Wanita yang dipanggil Dinda itu cuma mengangguk. Bibirnya masih tersenyum ketika tangannya mengambil alih tas si lelaki dan berbalik menuju kamar. Sekilas hidungnya menangkap wangi Intuition Estee Lauder dari badan lelakinya, aroma yang menggairahkan, dan itu bukan parfumnya, bukan pula parfum lelakinya. Hatinya melesak, hampir meledak.

“Kak, mandi dulu ya, Dinda bikinkan teh jahe” Sambil menggigit bibir dan menarik nafas wanita ini segera berlalu, menuju dapur. Mengamankan perasaan dan raut mukanya yang kembali menitikkan airmata. Menelan bulat-bulat rasa kecewa dan amarah. Meredakan amukan di dadanya.

Sementara si lelaki yang telah menikmati kucuran air hangat di bawah shower, bersiul-siul kecil. Lelaki itu merasa di atas angin. Dia tidak ingin kehilangan cintanya, oleh karena itu wajib baginya untuk bermain cantik, bersembunyi, menutup rapat kecurangannya. Dia merasa berhasil. Merasa baik-baik saja. Hatinya lega, Dindanya tak pernah curiga. Wanita yang dicintainya, belahan jiwanya. Wanita yang punya segalanya tapi tak cukup memuaskan hasrat petualangnya dengan wanita-wanita lain seperti Shelly, yang beberapa jam lalu baru saja ditinggalkannya di hotel itu.

***************

Kamis malam yang ditunggu-tunggu tiba juga. Setelah sebelumnya sempat bercengkerama di lobi, si lelaki dan wanita yang bernama Shelly tidak ingin membuang waktu lebih lama. Mereka bergegas naik ke lantai 6, masih di kamar yang sama, di hotel yang sama seperti pertemuan-pertemuan terlarang sebelumnya.

Sambil melakukan sentuhan-sentuhan yang membangkitkan gairah, mereka saling melucuti pakaian masing-masing, tanpa basa-basi. Tanpa pemanasan, mereka sedang tersulut birahi. Karena memang sering terjadi dan mereka merasa tidak ada lagi yang harus ditutup-tutupi, pun sekedar rasa malu. Semuanya tenggelam lagi dalam nafsu.

Kamar itu semakin panas, sudah hampir setengah jam. Mereka hanya bisa saling mencumbu. Sementara birahi si lelaki telah sampai ubun-ubun, harus dia tuntaskan sekarang. Tapi ada yang aneh, dia mulai merasakannya. Ada yang aneh dengan dirinya. Matanya yang kelam karena nafsu memandang wanita yang sedang mendesah-desah di atasnya. Mencoba membangkitkan gairahnya. Dia tetap bergeming, kejantanannya masih melemah tak bisa mengaku seperti biasa. Sang wanita pun turun dari atasnya, mulai putus asa.

****************

Di tempat lain, di sebuah desa kecil di muara belantara. Sunyi menyergap. Tidak ada suara. Senyap. Tidak ada listrik di tempat itu, jauh dari peradaban. Hanya terlihat kerlip timbul tenggelam beberapa lampu kecil bersumbu dari rumah-rumah yang nampak seperti bayangan hitam. Gerakan sinarnya tenang, karena angin pun bahkan hampir tidak berhembus. Desa itu temaram, kecuali cahaya bulan yang memantul di sebuah telaga tak jauh dari halaman sebuah rumah berdinding bambu.

Di dalam rumah, seorang tua lanjut usia sedang menghadapi nampan berisikan telur, buliran-buliran beras dan bunga-bunga beberapa warna. Di mulutnya terselip daun sirih yang tampak lusuh karena dikunyah lama. Telinganya bersampirkan anting-anting dari perak raksasa berjumlah delapan, membuat semacam rongga besar, hingga daun telinga itu keberatan dan tersangkut lemah di bahunya. Seorang balian, ujung tombak adat suku pedalaman. Setiap gerakan dan ucapannya mengandung mistis yang tak terbantahkan. Diluar nalar, terkadang tak diterima akal.

Di hadapan si tua yang masih asyik mengayam ijuk dengan jemari keriputnya. Duduklah wanita cantik dengan kerudung hitam dan hanya memakai tapih panjang sedada. Wanita yang sama dengan wanita yang tinggal di rumah dengan halaman berkerikil, Dinda. Wajahnya menunduk. Matanya tenang, tersepuh sekian lama oleh luka yang tak terkatakan, saatnya membalas dendam.

Si tua telah selesai mengayam ijuknya dan melilitkannya menjadi 3 lilitan yang masing-masing diikatkan pada jari-jarinya. Matanya yang gelap menatap lekat ke arah wanita muda di depannya.

“Nyawa yakinkah, galuh??”

Wanita muda itu mengangguk pasti, tanpa ragu. Matanya balas menatap tajam ke arah si tua. Perasaan cintanya mati sejak lama, tergilas angkara dan birahi dari lelaki yang dicintainya. Murkanya sudah sampai di ujung kepala, hingga ingin segera dimuntahkannya.

Tangan keriput si tua mengambil lading kecil dari buncu tikar yang didudukinya. Pisau bersepuh emas yang kemudian diikatkannya pelan dengan ijuk yang selepas tadi dianyam. Tidak ada wangi kemeyan seperti banyak yang orang-orang bilang. Si tua merapal mantra yang entah apa bunyinya. Entah kenapa pisau bersapuh emas itu terlihat mengeluarkan cahaya, si wanita muda sempat ternganga, ragu sesaat, namun lukanya terlalu dalam, tak ada jalan untuk memaafkan.

Bulir-bulir beras bergerak-gerak di atas nampan, bunga-bunga berbagai warna berhamburan ke berbagai arah seolah ada yang melemparnya. Sesuatu yang kasat mata sedang mengamuk di ruangan itu. Hawanya dingin dan menggigilkan, mendirikan bulu roma. Dan sekelebat sinar terbang seperti kilat tepat ketika sang tua menusukkan ujung pisau bersepuh emas itu ke cangkang telur yang berwarna susu.

Malam masih hening. Bahkan alam pun membisu malam itu.

**************

Di kamar hotel, si lelaki yang masih kebingungan mulai panik, sementara si wanita sudah kehilangan gairahnya, sambil merengut bergegas ke kamar mandi, menenangkan diri. Belum habis keheranan mereka, tiba-tiba lampu kamar padam seketika, gelap gulita. Suara berdesing-desing seperti jutaan sayap memenuhi ruangan itu, bau anyir dan anyelir mendesap-desap bergantian, membawa kematian. Beberapa detik kemudian lampu kembali menyala, terlihat lebih terang dari nyala sebelumnya.

Di depan pintu kamar mandi, sosok wanita itu baru setengah melangkah, kakinya membeku sesaat sebelum ambruk ke samping. Tubuh telanjangnya lunglai tak bergerak, matanya terbelalak. Maut menjemputnya dengan mendadak, bahkan dia mungkin tak sempat selesai menghembuskan nafas kecewanya karena tak jadi bercinta.

Sementara di ujung ranjang keadaan lelaki tak jauh menggenaskan. Wajah herannya bahkan masih terlihat jelas, alisnya meninggi karena panik yang belum tuntas. Tapi dia juga tak bernafas, terbaring mati dengan kepala mendongak, dan matanya pun terbelalak.

Tak ada luka pada tubuh keduanya, kecuali bekas biru yang serupa lebam berbentuk parang yang membekas jelas di dada mereka. Tak ada bukti lain, tak ada tanda lain.

*************

Dini hari tiba di tepian belantara itu. Dinda menuntaskan ritualnya tepat ketika ayam berkokok di kejauhan. Si tua menyampirkan ijuk dari lilitan ketiga ke jemarinya. Di atas nampan, telur yang tadi masih utuh tampak berserakan, isinya berhamburan dan berwarna hitam.

Si tua membuka matanya seiring dengan mulutnya yang tak lagi komat-kamit merapalkan mantra. Tatapannya memandang tajam sosok di depannya, yang lagi-lagi dibalas oleh tatapan yang lebih tajam oleh si wanita muda.

Kali ini senyum bermakna kepuasan tersungging di bibir wanita itu.

***************

*balian = dukun
*nyawa yakinkah = kamu yakin
*galuh = panggilan untuk wanita
*lading = pisau
*buncu = sudut

15 komentar:

  1. alith potonyaaa jangan nangis darah terus aaah..nangis uang gituuuu

    BalasHapus
  2. Tante guru : serem mana sama pelajaran linggismu :b:

    *lirik2 si daleman*

    Mba Preman : :a:
    aku lagi dapet suasana seram ini...
    ntar kalo berhasil bisnis baru nangis uang :c:

    BalasHapus
  3. Lebih serem ngadepin murid macem si kolor biru :i:

    BalasHapus
  4. aku suka kalo dapet murid kayak si kolor.... aaaah... pasti luthuuuu unyu unyuuuu :d:

    BalasHapus
  5. eh... ini cerita keren pisan euy..... :j:

    BalasHapus
  6. Ya udah sono lu jadi guru dia, pengen tau gua, belaga bener :b:

    BalasHapus
  7. :f: :f: mana berani saya melangkahi suhu fingen :c:

    BalasHapus
  8. *keplak gajah* :n:

    BalasHapus
  9. *jurus meringankan tubuuuuuuuuuh*

    BalasHapus
  10. :a:
    tante guru dan anak gajah...

    apa yang kalian lakukan dilapak ku :e:

    BalasHapus
  11. ampun kanjeng ratu ngeces... meniko kulo radi keblabasen...

    btw ngomogin balian jadi inget nenek bibi aku yg udah alm...

    BalasHapus
  12. :i: :i: oalahhh jadi ceritanya si tante riwil berasa serem yak ngajarin saya :a: :a: ya sudah saya tak cari guru baru lagi aja :a:

    duduk deket2 emak...emak aja yang yang gantiin tante riwil :c: dia dah bosen ngajarin saya :a: :a:

    komen postingannya:
    lhaaa...pake dukun yak :g: berasa ngeri

    BalasHapus
  13. cep cep cep ya mblue... hiks :a: dunia ini memang kejam... *ngelirik tante Anne dengan tatapan tajam*

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.