8.1.11

PULANG

Rumah. Ada banyak hal yang selalu bisa aku kenang dari rumah joglo dimana aku dibesarkan. Pringgitan, dimana aku dulu berlatih menari golek bersama teman-teman precilku menjelang pentas Agustusan. Dhelikan dan memanfaatkan salah satu tiangnya sebagai pal-nya. Bekelan, congklak, tak lupa rujakan diatas lincak bambu di bawah pohon jambu. Betengan dan kasti adalah permainan yang paling kugemari saat itu. Panas terik tak pernah menghentikan kami, anak-anak yang tidak pernah khawatir kulit jadi gosong terpapar mentari. Maklum kami belum jadi remaja puber yang punya jadwal creambath dan luluran penghalau daki.

Nyanyi burung derkuku milik Pakdhe Darman mengiringi huru-hara menjelang berangkat sekolah. Keributan mencari dasi, topi atau kaos kaki yang entah nyelip di sudut mana. Gerenengan ibu karena ketiban sampur untuk ikut mencarikan. Teriakan ayah yang sudah terlalu lama menunggu di atas sadel sepeda motornya. Aku masih sering mengingat kepingan-kepingan fragmen itu, merindukan suasana tempo dulunya. Namun aku memilih untuk mengingatnya dengan caraku sendiri. Membiarkan seluruh kenangan berseliweran satu persatu dengan warna warninya yang meriah. Termasuk aroma sambel pecel yang beradu dengan trancam mentimun dan kemangi, lengkap dengan rempeyek kacangnya.

“Kapan kamu menikah?”
Pertanyaan yang sama setiap aku pulang menengok ayah dan ibu.
“Nantilah bu.”
Jawaban yang bisa dipastikan akan memicu pertanyaan dan pernyataan berikutnya.
“Ingat umur, nanti anak-anakmu masih kecil, kamu sudah tua, lak repot to ngopeninya. Lagian biaya sekolah makin mahal, belum lagi biaya kuliah.”
Atau kalimat lain yang bisa kuhapal luar kepala.
“Kalau sudah tua, ndak punya anak, siapa nanti yang ngurusi kamu.”
“Oalah ibu, anak belum lahir kok yang tua sudah pada mikir mau ngasih tugas. Berarti kita punya anak untuk mengakomodasi kepentingan kita, kebutuhan kita akan suster dan perawat di masa tua.”
Tapi kalimat itu hanya muter-muter di kepala, tidak pernah aku lontarkan. Tidak, aku tidak ingin berselisih paham dengan beliau. Aku terlalu liberal baginya. Rasanya ingin protes, kenapa sih ibu tidak bisa seperti ayah yang tidak pernah bertanya itu-itu saja. Tapi sudahlah, lebih baik diam supaya topik pembicaraan tidak semangkin panjang dan melebar.

Tiga bulan lalu saat aku pulang kampung.
“Kamu sih terlalu pemilih, jadinya ndak nikah-nikah. Kenapa sih ndak seperti Mira, anaknya Bu Sasmi yang menikah begitu lulus kuliah, atau Ranti, putri bungsunya Bu Zaenab yang menikah begitu dapat pekerjaan.”
Lho…lho… ini kenapa, ndak ada hujan, ndak ada topan badai, tiba-tiba aku mesti dibandingin sama mereka. Ooooo…..ini pasti efek samping dari arisan RT. Ibu-ibu ndak kreatif yang taunya cuma nanya, “Kapan bu anaknya nikah ?”

Ibu, kenapa sulit sekali membuatmu mengerti bahwa menikah bukan sekedar urusan duduk di pelaminan dan berjabat tangan dengan ratusan undangan. Bukan sekedar sibuk mendesain undangan dan menentukan menu makanan untuk para tamu. Bukan sekedar perhelatan sesaat yang membuat ibu berhenti ditanya “kapan.” Perhelatan berikutnya lebih panjang ibu. Perhelatan bagaimana seorang Tantri menjadi istri dan ibu. Perhelatan yang akan kujalani bersama seorang lelaki pilihan hati. Bukan karena harus berlomba dengan gadis lain, juga bukan karena malu pada tetangga. Kalimat seperti apa yang bisa membuat ibu mengerti jika telinga ibu selalu dipenuhi dengan apa kata orang. Apa lagi yang bisa kukatakan jika satu-satunya di benak ibu adalah “cepetan nikah, ibu malu ditanya sama tetangga.”

“Kapan kamu pulang kampung, Tan?”
Terngiang kembali pertanyaan ibu di ujung telefon kemarin. Pulang kampung yang terakhir sudah lewat dari 3 bulan. Aku belum ingin pulang, bu. Nanti setelah aku bertemu orang yang tepat untuk menjadi ayah dari anak-anakku. Nanti setelah aku bertemu lelaki yang akan kujadikan bagian dari setiap episode dalam hidupku. Nanti bu, setelah aku bisa membuatmu tidak malu lagi.

Keterangan :

Pringgitan : teras rumah, bisa juga digunakan untuk menerima tamu.
Dhelikan : petak umpet
Lincak : tempat duduk
Gerenengan : gumaman
Ketiban sampur : ikut berperan (arti letterlijk : orang yang kejatuhan selendang (sampur) didaulat untuk ikut menari di atas panggung)

3 komentar:

  1. lapeeeeeeeeeeeeeerrrr :k:
    kangen masakan rumah :a:

    wah mba itu maenanku semua, bentengan, bekelan delik2an, gobak sodor juga ada :c:

    tapi bedanya belum ditanyain kapan nikah :h:

    semoga segera bertemu jodohnya ya mba noni...
    jodoh dunia akhirat aaaamiiin :h:

    BalasHapus
  2. Keren Jeung...
    Penuturan dan pilihan kata-katanya manis banget...

    Hoddoohh.. aq iri.. iri.. iri... :a:

    BalasHapus
  3. yaoloh dipuji sm jeung dqueen 'maestronya'prosa di sini :c: :c: *maraton sambil nebalin maskara*
    :j: :j: terimakasih yg tak terhingga saya ucapkan kpd suami yg telah mendukung saya hingga selesainya tulisan ini...hiks..hiks.. :i: :i: terimakasih buat ayah & ibu atas supportnya *mlipir sebelum dilempar kulit duren ma sungkar krn mengambil alih panggungnya*

    @mbak grey sungkar : sy mah kl ingat rujak cingur ma pecel jd lapar, tp ndak bisa bikin, yo ngiler tok akhirnya. Itu mainan sy dulu waktu msh di kampung mbak.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.