11.12.10

Bunda...

Bunda, entah aku harus mulai darimana. Begitu banyak kata yang ingin kusampaikan tapi tak mampu terucap. Bukan karena jauh hati kita berjarak. Hanya aku terlalu takut bila tak sengaja hatimu tersakiti. Karena kata yang telah terucap tak bisa begitu saja diralat. Dan sebagai pengganti bincang kita saat sore hari, dengan secangkir teh hangat dan remasan jari di tanganku, aku menuliskan di sini. Meski tak sebanding dengan semua kehangatan saat kita duduk bersama. Meski tak sebanding dengan lembut belaian jemari tanganmu yang telah keriput termakan usia.


Ah... tanganmu, Bunda. Yang dulu selalu rajin kucium khidmat sebelum beranjak sekolah. Tangan dengan kekuatan yang luar biasa. Tangan yang penuh kasih menimang aku saat aku masih bayi. Tangan yang menghidupiku melalui masakanmu yang lezat. Tangan yang menanggung tanggung jawab untuk terus menyekolahkan aku disaat suamimu sudah tak mampu memikul tanggung jawab itu. Tangan yang selalu menyembunyikan airmata agar anak-anakmu tak turut merasakan kesedihanmu. Tangan yang selalu kupuja. Tangan yang suci. Tangan yang kau gunakan untuk membelai perutmu saat aku menitip hidup di rahimmu. Tangan yang selalu berdoa untuk kebahagiaanku. Tangan yang tak pernah sekalipun engkau kotori dengan memukulku. Bunda... begitu engkau menyadarkanku begitu banyak yang telah engkau berikan dari sepasang tanganmu itu. Dan begitu tak berartinya balasanku untuk semua kasihmu.

Ingatkah Bunda, saat Bunda harus berjuang melewati masa-masa kritis saat itu? Saat aku menggenggam tanganmu yang lemah tak berdaya. Tak kutemukan ketegaran lagi di denyut lemah nadimu. Aku begitu takut engkau pergi begitu saja. Hari itu adalah titik terendah dalam hidup yang pernah aku alami. Begitu banyak hutang kasihku yang belum sempat aku jejalkan di hatimu yang penuh cinta. Belum sempat aku membahagiakanmu, membaktikan diri padamu. Dan aku begitu bersyukur saat Tuhan memberiku kesempatan untuk melakukan semua itu dengan berkah kesembuhanmu.

Bunda, saat itu aku merasa Tuhan telah meletakkan tanggung jawab untuk membahagiakanmu di telapak tanganku. Bukan sesuatu yang mudah, karena aku harus berterima, bagaimanapun juga kenyataan bahwa aku perempuan yang mencintai perempuan akan menyakiti hatimu. Dan bila suatu hari nanti Bunda menemukan ceceran tulisanku ini, ampunilah anakmu ini untuk kesekian kalinya. Mengertilah, sekalipun aku mencintai perempuan selain dirimu, hanya engkaulah perempuan yang selalu aku cintai hingga akhir waktu.

Bunda, aku sungguh mencintaimu.






A mother’s love is patient and forgiving when all others are forsaking,
it never fails or falters, even though the heart is breaking.

Helen Rice

4 komentar:

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.