9.12.11

Catatan Kecil

*Berhubung lama tidak ada yang posting, jadi saya putuskan untuk memposting tulisan narsis dan abal-abal ini.*

Seorang lajang yang dikejar-kejar pertanyaan "kapan menikah" pasti akan mikir betapa bahagianya mereka yang sudah menikah. Tidak perlu repot-repot mencari jawaban setiap pertanyaan tersebut muncul. Bagi yang sudah menikah (tidak semuanya), bisa saja iri melihat lajang yang bisa kesana-kemari, hang out tanpa mikirin suami dan anak. Lalu bagaimana dengan saya? Kenapa memutuskan menikah? Jujur, saya tidak punya sekian alasan yang "ndakik-ndakik." Saya tidak bisa sendirian. Saya butuh teman hidup yang saya cintai dan mencintai saya. That's it. *lebaayyy, ngemut jarik*

I'm single but happy tidak berlaku bagi saya. Toh ternyata hidup saya lebih bernyawa setelah saya menikah. Ada seseorang yang menyambut pagi saya dengan pelukan, mendengarkan ketika saya ingin didengar dan merengkuh tubuh mungil saya ketika semangat saya meluruh. Termasuk didalamnya keributan antara dua manusia yang semula bisa seenak jidatnya menjalani hidupnya.

"Menikah karena ingin punya anak." Lalu bagaimana kalau kau, saya atau siapapun bertemu dengan seseorang yang tidak bisa menghasilkan keturunan, atau sudah melalukan tubektomi atau vasektomi, atau sudah tidak punya rahim lagi pasca operasi kanker, atau apa sajalah. Mati-matian membuang keinginanmu untuk membagi hidupmu bersamamu...? Sah-sah saja, lagipula setiap orang punya alasan kenapa menikah dan bagaimana memilih pasangan hidup. Tapi menikah denga alasan ingin punya anak tidak pernah terlintas di benak saya hingga saya tidak pernah mengkhawatirkan jam biologis saya.

Sayapun pernah merasa risi ketika dikejar pertanyaan oleh seantero jagad "kapan menikah?." Sempat membuat saya kemrungsung ingin segera menikah karena menganggap itu adalah jalan keluar paling sempurna. Sempat terpikir bahwa "writing tresna jalaran saka kulina" mungkin ada benarnya dan saya mau nekat menempuhnya. Untung saja otak saya bisa waras kembali dan sayapun memilih mundur teratur. He is not the right man. Saya boleh jadi lepas dari pertanyaan "kapan menikah" tapi selanjutnya no one knows. Bahagiakah saya atau merana karena ternyata telah salah mengambil keputusan?

"Segala sesuatu indah pada waktunya." Terdengar klise pastinya. Namun saya mengamini kalimat klise itu setelah saya menengok kembali pada perjalanan yang detik demi detiknya membawa saya ke titik ini.


Bagaimana dengan perbedaan budaya? Suami saya orangnya "to the point", nggak ada basa-basi. Mengatakan langsung apa yang ada di pikirannya, tapi sayapun jadi terbiasa terbuka dengan isi kepala saya. Kami tidak membiarkan saling menduga apa yang ada di benak kami sehingga meminimalkan konflik berkepanjangan jika terjadi perseteruan dua kubu. Dan saya masih ingin terus bersamanya, membagi setiap detail perjalanan hidup saya, senyum, keributan, apapun, susah senang.

3 komentar:

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.