22.12.10

Pengumuman Pemenang Surat untuk Ibu

Sebelumnya, pengelola mengucapkan selamat hari ibu. Dan terima kasih sebesarnya pada partisipan lomba ini. Sesuai janji, saya akan umumkan pemenang lomba hari ini. Tanpa panjang lebar, pemenangnya adalah saudari Fitri Gendrowati. Pada saudari Fitri harap mengirimkan alamat lengkap kepada e-mail pengelola untuk mengirimkan hadiah. Berikut adalah surat yang terpilih :


Dear Ibu,

Ibu.. apa kabar? Lama aku tak bermanja-manja di pangkuanmu, sejak aku berganti peran. Meski sepekan sekali kita bertemu, aku tetap merindukanmu, Ibu. Tak dapat dipungkiri aku rindu saat-saat itu. Saat-saat aku merebahkan kepala di pangkuanmu sambil berceloteh. Celoteh apa saja tentangku. Tentang sekolahku, tentang kegiatanku, bahkan tentang seseorang yang saat itu dekat denganku. Kalau bukan sama ibu, sama siapa lagi aku bisa mengungkap cerita itu? Sama Bapak? Ah, paling-paling Bapak akan mencubit hidungku sambil menceramahiku,”hushh, anak kecil gak boleh pacaran dulu”. Kalau sama ibu, aku leluasa bercerita. Tanpa malu, tanpa sungkan. Ibarat, engkaulah cermin hatiku.

Ibu, bagiku kau adalah lautan yang luas. Menerima segala apa yang dibuang ke dalamnya. Seperti dirimu yang mampu menampung segala keluh kesah dan ceritaku. Entah itu baik atau buruk, kau tak peduli. Hatimu lapang menerima racauanku. Telingamu selalu siap mendengar bising suaraku. Bibirmu selalu setia mengalirkan nasehat untukku. Meskipun di saat kubercerita, tak pernah ku tahu apakah hatimu sedang lapang atau tidak. Sungguh egoisnya aku padamu, Ibu.

Ibu, ingatkah engkau saat aku tertabrak sepeda dan akhirnya harus dioperasi? Itu gara-gara aku tak menghiraukan petuahmu. Aku nekat meski sudah kau larang aku naik sepeda sendiri. Dan akhirnya.. ketika pulang sekolah, aku pun terpental jatuh karena ditabrak seseorang. Sakit, Bu. Aku harus menahan sakitnya selama tiga hari sebelum akhirnya dokter memvonisku agar aku dioperasi. Ususku dipotong. Sebegitu kuwalatnya aku terhadapmu. Aku jera, Bu. Tak ingin aku melanggar lagi nasehatmu. Aku tahu, ridhomu adalah ridho Allah juga. Jika engkau tak berkenan, niscaya Allah pun tak kan mengabulkan.

Ibu, Kaulah pahlawanku. Menahan kegetiran hidup setelah Bapak tak sanggup menjalankan kewajibannya. Mengumpulkan sekeping dua keping perak demi meluluskan sekolahku. Tak kau hiraukan tubuhmu yang semakin mengurus. Tak kau pedulikan setiap tetesan peluh yang mengalir dari tubuhmu. Tak bosannya kau panjatkan doa demi kebahagiaanku.

Ibu, dengan apa lagi harus kulukiskan semua tentangmu. Karena bagiku, kasih sayangmu melebihi tingginya gunung Himalaya yang menjulang ke angkasa. Cintamu yang dalam melebihi dalamnya Laut antartika. Jasa-jasamu tak kan dapat ternilai oleh setumpuk emas batangan 24 karat. Semurni hati sang bidadari yang selalu menjaga manusia kecilnya. Sayap ketulusanmu selalu melindungi raga dan jiwaku, Ibu.

Ibu, ternyata benar jika saat melahirkan itu adalah saat-saat dimana seorang ibu mempertaruhkan nyawanya. Konon katanya “Jihad fisabilillah”, jika sampai seorang ibu meninggal saat melahirkan, maka dia akan masuk surga seperti layaknya seorang pejuang Allah yang mati syahid. Subhanallah. Dan akupun sudah merasakan perjuangan itu, Bu. Merasakan bagaimana sakitnya saat kontraksi datang. Perasaan selalu diliputi kegelisahan, dan entah apa lagi yang dirasakan karena semua bercampur aduk menjadi satu. Lelah yang amat parah. Namun semua rasa lelah itu akan terbayar setelah mendengar tangis dan melihat raut wajah si kecil. Aku yakin begitu juga denganmu saat melahirkan aku dulu.

Ibu, setahun yang lalu hampir saja hati kita terpecah. Saat seseorang mencoba menggantikan posisi Bapak. Aku sedih, Bu. Hatiku cemburu. Setiap kita bicara soal ini, selalu saja ego yang dikedepankan. Ada tangis yang selalu mengiringi pembicaraan kita. Apa kau tahu, Bu... hatiku benar-benar sakit saat itu. Saat kau putuskan untuk menerima orang baru dalam keluarga kita. Aku takut kasih sayang ibu terpecah. Aku tak mau kehilangan Ibu. Walau akhirnya, demi kebahagiaan Ibu lambat laun aku mulai berdamai dengan keadaan. Mulai menerima seseorang itu dan menyebutnya dengan sebutan “Bapak”, meski aku tahu posisinya tak kan pernah bisa menggantikan posisi Bapak yang telah tiada. Semua itu demi engkau, Ibu. Aku tak mau hati kita terus-terusan berselisih dan memanas. Aku tak mau melihat orang yang aku sayangi merasa tersakiti. Maafkan aku, Ibu.

Ibu, tak ada hal istimewa yang bisa aku persembahkan di hari Ibu ini. Tak ada bunga, tak ada kue, tak ada kado. Tapi aku akan membawakan sekotak cinta yang berbalutkan sampul kerinduan dan berpitakan kasih sayang buatmu, Ibu. Terimalah dan simpanlah kotak cinta ini di lubuk hatimu yang terdalam. Jangan pernah menggantikannya dengan apapun.

Ibu, izinkan hari ini aku menulis surat untukmu. Mengungkapkan semua rasa sayangku pada Ibu, meski aku hampir tak pernah mengungkapkannya secara lisan. Ibulah malaikatku di dunia ini. Ibulah orang pertama yang meneteskan air mata saat mendengar tangisku. Ibulah orang yang selalu menyediakan pangkuannya untuk tempatku bercerita. Menyediakan hati yang tak kan pernah sesak oleh cerita hidupku. Ibulah orang yang selalu sedih jika sakit menghinggapi tubuhku. Rela menahan kantuk demi menjagaku, setiap saat memegang keningku untuk memastikan bahwa panasku sudah turun.

Ibu, tak kan pernah habis kata untuk melukiskan tentangmu. Karena kau pun akan selalu abadi di hati ini. Seperti penggalan lagu ini, Bu..
“.............
Pikirku pun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku

Kata mereka diriku s'lalu dimanja
Kata mereka diriku s'lalu ditimang

Oh Bunda ada dan tiada
Dirimu 'kan selalu ada di dalam hatiku...”

Ibu, aku bangga bisa mengikuti jejakmu menjadi seorang ibu buat manusia kecilku. Sebuah pekerjaan mulia dan tak terbatas waktu. Doakan aku agar bisa membimbing manusia kecilku, Bu. Merawatnya dengan baik, seperti engkau yang selalu sabar menghadapi kenakalanku semasa kecil.

Ibu, malu rasanya mata ini menatapmu. Aku yang sudah seperempat abad menjalani hidupku belum sanggup membahagiakanmu. Bahkan masih sering merepotkanmu. Membebanimu dengan masalah-masalahku.
Ibu, kulihat kerutan semakin bertambah di wajahmu. Sehelai dua helai uban mulai menghiasi rambutmu. Tapi perubahan itu hanya pada ragamu, Ibu. Sedangkan hatimu masih sama seperti dulu, penuh kasih.

Ibu, ijinkan aku menggapai surga itu. Surga yang ada di bawah telapak kakimu. Surga yang bisa kudapatkan jika engkau ridho terhadapku. Di sisa hidupku ini akan aku gadaikan waktuku untuk merawatmu, seperti engkau dulu yang menggadaikan waktumu begitu aku lahir ke dunia ini. Tak kan cukup pengabdianku untuk membalas semua jasamu, Bu.. tapi aku yakin, kau pun tak kan menuntut apa-apa dariku. Kebahagiaanku sudah cukup menjadi bayaran atas doa yang selama ini kau panjatkan. Dan di hari ini, Ibu.. bolehkah aku mengatakan kalau aku begitu menyayangi Ibu ? Satu senyummu sudah cukup menjadi jawabannya.



Sukoharjo, Desember 2010

Ananda yang selalu menyayangimu,



Fitri

3 komentar:

  1. Horeeeeee.. melonjak gembira..
    akhirnya bisa nambahi koleksi buku lagi.. :c:

    (padahal buku dari om jose aja belum kelar bacanya)

    BalasHapus
  2. hore hore ..
    :)

    selamat ya buat Fitri
    :)

    BalasHapus
  3. matur suwun mbak Rhyn :h:

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.