Di hadapan saya, seorang bocah sudah terlebih dahulu membanjiri wajahnya dengan tangisan sebelum masuk ke ruangan ‘eksekusi’, yang dengan berbagai cara sang ibu berusaha meredakan tangisannya, dan senjata pamungkasnya adalah “ayo jangan nangis, lihat itu ada hadiahnya kalau habis disunat” mendengar itu akhirnya sang bocah berusaha diam, walau tetap saja sesunggukan tak kunjung henti.
Seperti itulah kita kadang kala, sebelum menghadapi sesuatu, akan melihat hal buruk yang akan dirasakan -padahal itu belum tentu akan terjadi-, selalu berfikir tidak mudah menjalaninya, selalu dihantui ketakutan-ketakutan akan kegagalan yang menanti di depan. Tidak jauh beda dengan anak yang hendak dikhitan, yang selalu berfikir rasanya pasti sakit, padahal belum ada pengalaman sebelumnya bagaimana rasanya dikhitan.
Kita selalu melakukan sesuatu karena iming-iming akan hadiah (hasil dari keberhasilan pencapaian kita), tidak jauh berbeda dengan sang bocah yang bersedia menahan tangis dan melawan pikiran akan sakitnya ‘hanya’ karena iming-iming sebuah baju koko, sarung, peci, snack, dan beberapa lembar rupiah.
Tapi tidak semua anak seperti itu kawan, ada juga yang dengan tenangnya masuk dan keluar ruangan ‘eksekusi’, tidak ada kecemasan, dan sisa rasa sakit, bahkan tidak perlu mengeluarkan air mata -untuk rasa sakit yang belum pasti-. Sama dengan orang-orang yang menjalani hidup ini dengan rasa optimis, tidak membawa ketakutan apapun dalam menjalani ‘pilihan hidupnya’, hingga mampu menjalani pilihannya dengan lebih kuat dibanding orang-orang yang lebih dulu melihat hal buruk -yang tentu saja belum pasti akan terjadi-.
Khitanan… sebuah miniatur cara pandang menjalani hidup menurut saya, cara seseorang menyikapi sikap yang dipilih sebagai wujud ‘penerimaan’ akan pilihan hidupnya. Jadi Anda ingin memilih menjadi bocah yang mana?
Palembang, 11 Juni 2011
huwaaaa....nyetor tulisan euy..lama gak kesini...
BalasHapus