Warna pelangi luruh sore itu, di manik-manik matamu yang pilu dan meragu. Ahh, Kekasih hati, haruskah kutunggu lagi matahari esok pagi untuk bisa menempiaskan sedikit basah dan membangun pelangimu kembali??
Atau jika boleh izinkan aku cuma menjadi samudera, dunia tempatku berpapasan dengan semesta, memeluk topan dan juga murkanya. Di atasku ribuan bintang becermin tenang kala malam, dan kidung-kidung perahu nelayan yang lelah dalam setiap kayuhan, mendamba daratan.
“Lebih dari itu mereka tahu, aku selalu menunggumu sebagai sungai yang mengalir…. di muarakulah arusmu akan menemu akhir”