Tentang pendar bintang yang kusimpan, dirimu sang kejora. Segala kenangan dan senyuman. Kupertahankan semampuku, meskipun kenyataan melindas kewarasanku.
Gerimis turun perlahan pagi itu. Di suatu sudut jendela kamar yang mulai berembun, seorang lelaki tampak terpekur menatapi rumpun bunga bougenvile yang ditempiasi air hujan. Matanya lekat menatap setiap gerakan kelopak bunga yang seakan kepayahan menampung setiap tetes air yang menerpanya. Pipi tirusnya semakin menonjolkan tulang pipinya yang tegas, namun tidak mampu melunturkan keelokan wajahnya. Sudah hampir 1 jam lelaki itu tidak beranjak, tidak juga menggerakkan seinci pun bagian tubuhnya. Dia terlihat seperti patung yang mirip sekali dengan manusia. Yang masih menandakan dia bukan patung hanyalah kelopak matanya yang sesekali mengerjap.
Lelaki itu sedikit tersentak ketika satu sentuhan kecil menghangati pipinya, sebuah ciuman lembut, bahkan teramat lembut. Hidungnya samar menangkap aroma enak yang sangat dekat, aroma lembut melati berpadu dengan tajamnya ‘cecitrusan’ yang entah mengapa selalu bisa menstimulus saraf-saraf di kepalanya menjadi tenang. Dipejamkannya matanya sejenak untuk menikmati perasaan tenang itu, sementara tangannya menggapai ke samping kursi tempatnya duduk, meraih tangan yang terasa sangat halus. Tangan milik orang yang sama dengan orang yang menciumnya lembut tadi. Walau dia belum melihat orangnya, tapi sebuah kecupan lembut tadi dan wangi yang begitu akrab di hidungnya ini cukup untuk membuat setiap inderanya mengenali bahwa seseorang yang memang dia tunggu daritadi sudah datang.
“Bonjour, Monsieur…” Kali ini telinganya yang terasa hangat, bukan hanya karena suara lembut itu tapi karena bibir sang empunya suara juga mengecup belakang telinganya sekilas. Dia bahkan bisa merasakan nafas wanita itu.
Sang lelaki membuka matanya dan mendapati wanita yang menyapanya tadi tersenyum manis di depannya. Baju terusan putihnya tampak indah dengan motif abstrak di bagian roknya yang hanya sampai sebatas lutut. Cahaya dari jendela yang tidak sengaja terlindungi oleh wanita itu membuatnya seperti mempunyai cahaya di sekeliling tubuhnya, berpendar dengan aura. Seperti malaikat tapi tanpa sayap ataupun lingkaran halo di atas kepalanya.
“Kita tidak bisa duduk di luar seperti biasa, sayang” Ucap lelaki itu sambil masih menggenggam erat tangan wanitanya dan perlahan menariknya ke arah bibirnya, mengecup punggung tangannya perlahan.
Wanita beraroma citrus itu tersenyum dan perlahan duduk di pangkuan sang lelaki. Kedua tangannya yang jenjang mengulur, mengalungkan pelukan di leher lelaki itu. Rambutnya yang juga wangi mengibas lembut di wajah sang lelaki ketika wanita itu menyandarkan wajahnya, menyuruk lembut di leher lelakinya.
“Tidak apa-apa, abang, kita masih bisa duduk disini sampai siang nanti, menikmati hujan” Suara wanita itu begitu lirih nyaris berbisik. Sang lelaki mengusapi punggung wanita yang sedang bersandar manja di pangkuannya. Mencari posisi ternyaman, mengisap semua kelembutan, wangi dan kehangatan dari sosok yang setengah dipeluknya itu.
“Bagaimana persiapannya, sayang??” Tanya lelaki itu, tangannya masih bergerak turun naik di punggung wanita itu.
“Maafkan aku tidak bisa membantumu, entah kenapa orang-orang rumah bersikap aneh beberapa bulan ini, padahal aku ingin sekali membantumu. Tapi mereka melarangku keluar dari rumah ini, bahkan aku juga tidak diizinkan ke kantor” keputus asaan terdengar dari ucapan lelaki itu.
Wanita itu hanya bergerak sedikit sementara tangannya semakin memeluk erat leher lelakinya.
“That’s okey, abang. Abang sedang sakit. Tidak apa-apa aku mengurus ini sendirian, aku bisa kok”
Wanita itu bangkit dan berjalan ke arah meja di pojokan lain ruangan itu, tempat dia meletakkan tas bahunya tadi.
“Aku minta maaf, sayang. Harusnya kita mengurus ini bersama-sama. Aku tidak mau melewatkan setiap detik pun saat-saat ini, harusnya ini adalah momen penting bagi kita” Sedikit emosi lelaki itu berdiri dan menutup mukanya dengan kedua tangannya.
“Damn… Aku bahkan tidak tahu apa penyakitku. Mereka bahkan tidak mau membicarakannya, bahkan kau pun juga, sayang.”
Sang wanita memeluk lelaki itu dari belakang, sambil kembali menciumi belakang leher lelakinya. Tangan kirinya mengulurkan sesuatu ke depan melewati bawah lengan sang lelaki. Sesuatu yang berwarna keperakan berpita dari renda merah, sebuah undangan.
Lelaki itu takjub. Diraihnya undangan perak itu, dibukanya perlahan. Bagian dalam undangan didesain apik dengan warna senada dan berbingkai corak lukisan khas salah satu suku di Kalimantan. Senyumnya mengembang ketika membaca nama yang tertera disana, nama mereka.
Maha Suci Allah yang telah menciptakan Makhluknya berpasang-pasangan.
Ya Allah, dengan ini Ridhoilah Pernikahan putra-putri kami:
Farhat Fairuzi Al Azzam
Dan
Izzyaluna Kanaya
“Ini indah sekali, sayang. Kau selalu mengerti apa yang aku inginkan walaupun aku tak pernah memintanya”
Wanita itu beranjak lagi, kali ini beralih tepat ke hadapan sang lelaki. Jarak mereka begitu dekat, sehingga satu sama lain bisa mendengar bunyi nafas masing-masing.
“Kan aku sudah bilang, abang. Aku bisa urus semua. Katering, pagar ayu, tempat resepsi, bahkan lusa nanti kita sudah bisa fitting bajunya” Senyum manis wanita mengembang, jari-jarinya dengan lincah menggelitiki pinggang sang lelaki.
Lelaki itu menggeliat kegelian sambil berusaha memeluk dan menarik kepala wanita itu ke dadanya. Wanita itu berontak dan mengelak sambil setengah berlari.
Lalu tiba-tiba, sang lelaki terpaku, wajahnya yang tadi sejenak mulai memerah kembali berubah pucat. Dia berdiri saja di dekat kaki ranjang yang berseprai putih. Matanya bergerak-gerak tak terarah, nafasnya tercekat. Sementara di depannya wanita berterusan selutut berwarna putih itu masih tertawa-tawa, suaranya sangat terdengar dekat, wangi citrus dari tubuhnya masih tercium, tapi entah kenapa wanita itu terlihat sangat jauh bahkan sosoknya seperti membayang lalu perlahan-lahan memudar. Laki-laki itu merasa masih membeku, warna-warna di sekitarnya menghilang seketika.
***************
Di atas meja di sudut ruangan yang berwarna putih itu teronggok sebuah surat kabar lokal tertanggal hampir 3 bulan lalu yang mulai menguning lembarannya. Di halaman paling depan dengan huruf yang besar dan cetak tebal tertulis.
Kecelakaan Maut di Bukit Soeharto
Lagi-lagi, daerah rawan bukit Soeharo memakan korban. Kali ini korbannya adalah seorang wanita bernama Izzyaluna Kanaya (25). Sore kemarin, korban yang mengendarai Toyota Fortuner dengan nomor polisi KTxxxxEB itu dikabarkan berniat untuk mengambil undangan pernikahannya yang akan dilaksanakan bulan depan. Namun malang, di sekitar Km 29 mobil korban selip dan kehilangan kendali hingga menabrak pembatas jalan dan meluncur jatuh ke jurang……….
******************
Suatu pagi, di hari yang lain.
Lelaki itu masih betah berada disana, di sudut jendela yang kadang-kadang berembun. Matanya masih menatapi rumpun bunga bougenvile di luar jendela. Lelaki itu tidak beranjak, tidak juga menggerakkan seinci pun bagian tubuhnya. Dia terlihat seperti patung yang mirip sekali dengan manusia. Yang masih menandakan dia bukan patung hanyalah kelopak matanya yang sesekali mengerjap.
Di bagian terluar tidak jauh dari pagar yang membatasi rumpun bougenville yang mulai meninggi tertancaplah sebuah papan nama bertuliskan
Rumah Sakit Jiwa Samarinda
Jl. Kakap 23 Samarinda Kalimantan Timur
**************
saya mau bilang: tulisan dan cara bercerita mba kereeeennnn....tapi jujur endingnya bisa ketebak pas line wanita itu duduk disampingnya :c:
BalasHapusketebaknya bukan karena tulisan, tapi karena gambar hantunya :c: tapi kereeeeeeeeeen....
BalasHapusagak2 spooky...tp keren...as always...:h:
BalasHapusYup, kadang gambar juga bisa mengungkapkan isi ceritanya...
BalasHapus:a:lain kali diri q pake gambar nya spongebob :m:
@mba yang pengen jadi ratu: laen kali pasang gambar mba ma abang aja :c:
BalasHapusKereeeeen...beneran keren bgt... :h:
BalasHapusaku mau mbetulin itu lho nama rumah sakitnya :c: namanya RSKD Atma Husada Mahakam Samarinda :c:
BalasHapuswkwkwkwkwkwwkkwkwkw :f:
ihiiiiiiirrrrr syerem ih :k: