Malam tadi, aku bertemu lagi dengannya, lelaki badai ku. Sungging di bibir yang aku rindu, seperti kopi yang kusesap tiap pagi, pahit cemas, namun tak sekalipun berasa ampas.
Seperti biasa, antara kami… diam adalah aksara sunyi yang paling bermakna. Dalam senyap entah kenapa, begitu gampang menjaring rindu yang bersarang dimanik-manik mata.
Kita bisu luar biasa.Jeda antara kita terisi udara yang juga menahan lirihnya.
Katamu akhirnya
“ketika kita hanya menjadi boneka, pemeran adegan yang sudah disutradarai sang Pemilik Jiwa”Sorot matamu masih kelabu, sarat dengan pilu… masalalu. Hingga getir langkahmu, ragu pada setiap rindu… pun ketika memandang aku, wanita yang kau sebut
“damaimu”“….Bukankah cerita itu telah berakhir?? Haruskah luka itu selalu tertafsir???....Dan aku memilih menjamahmu dengan sentuh, berharap semoga segala luka itu luruh. Di luar sana gelagat-gelagat gerimis pun runtuh.
Dingin ini memagut kita, merentangkan berkilo meter lagi jeda, walau tanganmu menaut memeluk pinggang, dan menarik kepalaku ke dada
Sayang… dendammu adalah jaraknya.